Tenunan Kain Sutra Warisan Para Leluhur

Tenunan Kain Sutra Warisan Para Leluhur
klotak... klotek... ” menyelusup dari kolong-kolong tempat tinggal panggung di Dusun Impaimpa, Tanasitolo, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Bunyi kayu beradu itu datang dari alat tenun bukanlah mesin yang digunakan tiga gadis remaja. Una (21), Ika (19), serta Siti (18) tengah kerjakan kain sutra polos untuk bahan kebaya.

Kain selama 3 mtr. dengan lebar 1, 2 mtr. itu nyaris rampung ditenun. Sepanjang bekerja delapan jam satu hari, ketiga gadis itu dapat menenun tiga helai kain sutra dengan gaji Rp 8. 000 per mtr.. Upah kian lebih Rp 2 juta per bln. mereka pakai untuk menolong orang-tua serta penuhi keperluan pribadi.

”Kalau tengah sedikit keperluan, beberapa dari gaji baru ditabung, ” ungkap Una yang belajar menenun dua th. lantas. Kematian ibundanya berikan motivasi Una untuk hidup mandiri. Dia juga berhimpun dengan usaha sutra punya Nadar serta belajar menenun dari istri sang bos.

Begitu halnya Ika yang belajar menenun untuk menyokong ekonomi keluarga. Mulai sejak ayahnya wafat dua th. lantas, Ika jadi tumpuan ibu serta adiknya yang masih tetap kecil. ”Sejak kerap sakit-sakitan, ibu tidak pernah menenun lagi, ” tutur perempuan yang mulai menenun pada umur 17 th. ini.

Argumen ekonomi juga yang mendorong beberapa ratus perempuan menekuni tenun di Desa Taeng, Kecamatan Pallangga, Gowa. Menurut Sartika (40), pendiri grup usaha tenun Cura’ Labba, menenun sutra yaitu usaha perempuan di daerahnya untuk terlepas dari jerat kemiskinan. ”Sambil menyelam minum air. Terkecuali memperoleh duit, kami juga melestarikan warisan budaya leluhur, ” katanya.

Kerajinan tenun telah di kenal orang-orang Bugis-Makassar mulai sejak era ke-17. Kerajinan ini berkembang cepat di banyak daerah, terlebih di Kabupaten Wajo. Sekurang-kurangnya 5. 000 perajin di empat kecamatan menggerakkan industri tenun dari kolong tempat tinggal panggung mereka.

Di Desa Tosora, Kecamatan Majauleng, golongan perempuan biasanya masih tetap menggunakan alat tenun tradisional gedokan. Tidak sama dengan alat tenun bukanlah mesin (ATBM) yang memakai ayunan ke-2 kaki, gedokan ditangani sembari duduk selonjor. Product yang dibuat gedokan berbentuk sarung sutra. Pelaksanaan satu lembar sarung selama 2, 5 mtr. dengan lebar 1 mtr. perlu saat tiga minggu hingga satu bulan.

Sesaat warga di Kecamatan Tanasitolo, Tempe, serta Pammana umumnya sudah memakai ATBM. Product yang dibuat juga lebih variasi, dari mulai sarung, kain tenun, sampai tenun ikat. Saat pelaksanaan dengan ATBM juga lebih cepat, yaitu sekitar sehari sampai dua minggu. Untuk kain sutra polos, umpamanya, dapat ditangani dengan ATBM dalam hitungan jam.

Penenun umumnya memasok hasil pekerjaan mereka ke beberapa ratus entrepreneur di Sengkang, ibu kota Wajo. Nadar (45), salah seseorang entrepreneur, umpamanya, merajut kerja sama juga dengan 20 penenun, dari mulai remaja putri sampai ibu-ibu. Di kolong tempat tinggalnya, entrepreneur yang sudah melakukan bisnis sutra mulai sejak th. 1989 itu mempunyai enam ATBM.

Dari kolong tempat tinggal yang simpel itu Nadar dapat menghasilkan 400 mtr. kain sutra tiap-tiap minggu. Kain sutra yang dibuat dari mulai yang berwarna putih polos sampai berwarna cerah dengan motif garis, kotak-kotak, atau kembang. Kain putih polos yang di jual seharga Rp 40. 000 per mtr. itu dipasok ke beberapa entrepreneur batik di Pulau Jawa.

Mengenai kain sutra warna-warni di jual dari mulai Rp 70. 000 sampai Rp 120. 000 per mtr.. ”Tergantung type benang sutra yang digunakan. Harga kain dengan benang sutra sintetis pasti lebih murah dibanding dengan yang gunakan sutra asli, ” ungkap Nadar. Product itu ia kirim ke beberapa pedagang besar di Makassar.

Tetapi, product yang di kirim umumnya tidaklah sutra asli. Dari 120 helai kain yang dipasok ke Makassar tiap-tiap minggu, cuma 20 % berbentuk sutra asli. Walau sebenarnya, keinginan dari pedagang meraih 2 x lipat. Hal semacam itu dikarenakan minimnya ketersediaan bahan baku benang sutra asli produksi dalam negeri.

Andi Tenri, yang memiliki toko Sutra Indah, menyampaikan, importir dari Eropa begitu tertarik dengan sutra Bugis yang memakai pewarna serat alam. Tetapi, ia tidak berani merajut kontrak karna cemas susah penuhi keinginan di dalam supply benang lokal yg tidak menentu. ”Kami cuma memperoleh supply rata-rata 20 lembar kain sutra asli per minggu. Walau sebenarnya, keinginan dari Eropa 2 x semakin banyak, ” katanya.

Sampai kini, produksi kain sutra 1, 7 juta mtr. per th. memerlukan 150 ton benang. Tempat murbei seluas 2. 524 hektar cuma dapat menghasilkan 15, 8 ton benang per th.. Kekurangan 90 % bahan baku diimpor dari China. Tingginya ketergantungan itu bikin harga benang sutra dari China selalu naik dari Rp 360. 000 jadi Rp 800. 000 per kg dalam tiga th. paling akhir.

Menurut Kurnia Syam, entrepreneur yang juga tokoh pertenunan Sulsel, impor benang sutra dari China telah berjalan mulai sejak th. 1970-an. Tetapi, saat itu impor cuma dikerjakan waktu telur serta ulat terkena penyakit febrine yang mengakibatkan produksi anjlok. Terakhir, volume impor selalu bertambah bersamaan krisis moneter pada akhir th. 1990.

Berdasar pada data Dinas Kehutanan Sulsel, luas tempat murbei selalu alami penurunan dari 3. 328 hektar th. 2001 jadi 1. 461 hektar th. 2007. Luasan itu perlahan-lahan bertambah lagi jadi 2. 524 hektar th. lantas.

Krisis moneter bikin sutra Bugis-Makassar ada di titik nadir. Banyak entrepreneur sutra gulung tikar akibat tidak dapat membayar utang bank. Salah nya ialah Kurnia. Ia juga berkemauan meredam ketergantungan pada impor dengan bangun industri sutra mulai sejak lima th. lantas.

Kurnia beli tanah seluas 5 hektar di Kecamatan Sabbangparu, Wajo, untuk budidaya murbei. Tempat yang dahulu diisi beberapa ribu tanaman kakao itu saat ini dipenuhi pohon murbei setinggi 1, 5 mtr. sampai 2 mtr.. Untuk merangsang ketertarikan petani supaya kembali menanam murbei, ia bekerja sama juga dengan Balai Persutraan Alam dalam penyediaan benih serta telur ulat.

Kurnia bahkan juga menambah harga beli kokon dari Rp 25. 000 jadi Rp 40. 000 per kg. Perlahan, akhirnya mulai tampak. Harga kakao yg tidak menentu bikin beberapa petani mulai menanami tempat mereka dengan murbei. Pembenahan di bidang hulu diinginkan efisien kurangi ketergantungan impor bahan baku.

Manfaat tingkatkan kwalitas benang, Kurnia memberi sentuhan tehnologi dalam industri sutra. Mulai sejak Januari lantas, twisting (sistem memutar benang supaya lebih kuat) tidak lagi dikerjakan dengan cara manual, namun memakai mesin dari China berkapasitas produksi 1 ton benang.

Tidak cuma Kurnia yang terpanggil untuk melestarikan warisan budaya Sulsel itu. Urfiah Syanty (47), pendiri Makassar Sampulo (wadah untuk perajin, desainer, serta entrepreneur sutra), umpamanya, pernah memanggungkan sutra dalam arena International Fair of The Muslim World Le Bourget di Paris, Perancis, dua th. lantas.

Begitu halnya Diandra Sabrina (24), mahasiswi Kampus Hasanuddin, yang meniti usaha sepatu dari kain sutra berbarengan tiga rekannya mulai sejak 2010.

Mereka memberi contoh bagaimana bersetia pada warisan leluhur.

Komentar